6.8.16

Sepakat Benar

Hm yea.

Apa melepaskan berarti memberi kesempatan untuk diberi maaf lagi?
Apa kalau memaafkan berarti tidak membikin jera?
Apa jera harus dengan hukuman yang berarti terikat hukum?

Apa pikiran ini terlalu purba?
Atau pertanyaan yang lahir dari seorang egois dan ogah berpikir dalam?

Pertimbangannya satu (tapi beranak): semua orang layak untuk berdamai
dengan diri dan lingkungannya.
Selanjutnya pilihan tiap individu apa yang diambil, apa yang membuat
dia damai dan bagaimana. Meski begitu, pertimbangan tetap timbul lagi.
Kan kita mesti bentrok juga dengan 'layak berdamai' milik individu
lainnya?
Pertanyaan di atas muncul karena belakangan ini saya sedang baca
tulisan Eyang Pram, tetralogi Pulau Buru dan beberapa opininya
mengenai keadilan dan penegakan hukum. Bacaan saya jadi tidak luput
dari surat terbuka Mbah GM untuk Eyang Pram tentang Gus Dur yang
meminta maaf pada korban masa Orde Baru (yang memantik saya jadi
berpikir tentang masalah, hukum dan damai dan kata 'sepakat').

Hubungannya dengan 'layak berdamai' (aka kepuasan) yang saya maksud:
dalam hal ini, Eyang Pram mengkritik Gus Dur yang dengan mudahnya
meminta maaf pada korban yang tergencet masa Orde Baru. "Basa-basi,"
kata Eyang, "tidak semudah itu, Keadilan dan Hukum tetap harus
ditegakkan. Berapa banyak milik saya: umur, harta, keluarga yang
terampas semasa Orde Baru? Saya dipenjara hampir selama separuh hidup
tanpa alasan itu karena hukum dan keadilan tidak ditegakkan", poinnya
begitu. Jelas Eyang begitu traumanya terhadap masa lalunya dan mengaku
bahwa merasa kasihan pada penguasa yang tidak juga Mbah GM lalu bikin
surat terbuka yang menganalogikan andaikan ada Mandela di sini dengan
menyayangkan tindakan Eyang Pram yang begitu tidak pemaafnya.
**
Siapa yang benar? Tetap menuntut hak-hak yang sudah tidak mungkin lagi
di kembalikan (ya jelas kalau umur kan susah dibalikinnya gimana?),
menegakkan hukum untuk mencapai keadilan atau bertindak menjadi pemaaf
dsb dsb. Tapi saya tidak hendak membahas ini. Perkara Mbah GM dan
Eyang Pram hanya cuplikan tentang 'layak berdamai' yang berbeda:
Simbah memilih berdamai dengan cara 'memaafkan' sedang Eyang dengan
menuntut hingga tuntas.

Kebenaran ada di mana? Eh... Kebenaran itu apa? Memangnya ada?
Setahun belakangan ini aku jengkel sekali dengan kata "sepakat" atawa
"disepakati". Iya, mungkin terdengar egois sekali berhubung aku mau
cari tahu "Yang Benar itu sebenarnya apa sih sebelum semua
disepakati?"

Tapi ternyata saya kecewa juga karena Benar dan kebenaran pun
kesepakatan. Uh, kan dongkol jadinya?
Jadi aku sampai pada simpulan kalau 'benar' bukan di atas
segala-galanya. Omong kosong. Yang paling penting adalah bagaimana
kita tidak bentrok dan berdamai. Makanya kan ada sepakat? Dalam ilmu
pengetahuan saja standardisasi dan metode penelitian adalah hasil
kesepakatan.

Awalnya aku pikir 'Ilmu Alam', eksak adalah ilmu pasti (eksak: pasti),
tapi tentu saja pasti di sini adalah kesepakatan yang pasti dan bisa
dipertanggungjawabkan secara matematis dan logika (ngga pasti-pasti
amat juga sih, bisa saja berubah). Temperatur, satuan panjang, bahkan
waktu: bumi mengelilingi matahari itu dihitung kurun satu tahun, yang
terdiri dari 12 bulan, yang terdiri dari 28-31 hari yang satu hari
merupakan 24 jam, satu jam 60 menit, satu menitnya 60 detik, satu
detik 1000 milidetik dst dst. Dari mana awalnya? Ya kesepakatan saja.

Jadi kuingatkan ya, yang namanya kebenaran itu tidak penting, anggap
saja tidak ada (atau memang ada tapi dipertimbangkan belakangan
saja?). Yang penting adalah keutuhan hubungan kita, antar individu
biar tidak terganggu. Kan itu yang dicari? Ber-da-mai. Dan ya jelas
saja harus se-pa-kat.

Tentu saja kenyataannya kan tidak sesederhana itu? Setidaknya kita
jadi ingat, kita bukan membela kebenaran, tapi membela yang membuat
kita merasa damai, apapun itu, yang membikin kita punya persepsi kalau
itulah yang benar.

Jangan lupa juga, tulisan ini juga bukan kebenaran.

Oh ya. Katanya, ragu itu bagus untuk menguji keimanan kita. Iman pada apapun.

Salam,
K

260416

No comments:

Post a Comment