7.8.16

Pendidikan Indonesia dan Pemikiran Freire

Jadi, sebelum mati, aku minta dikritik untuk sebanyak-banyaknya
belajar. Maka pikiran liar dituliskan saja, dibagikan saja.

Pada buku terakhirnya, Politik Pendidikan, Paulo Freire menuliskan
mengenai krisis pendidikan di Amerika Serikat tampak jelas dengan
munculnya pernyataan bahwa sekolah telah gagal mewujudkan tujuannya
untuk memenuhi tuntutan kapitalisme dan ekonomi pasar. Dia mengkritik
bahwa krisis ini bersumber pada kemandegan perekonomian dan kurangnya
peran Amerika dalam perdamaian dunia. Sebaliknya, banyak kelompok
radikal kiri yang mengatakan bahwa sekolah tidak lebih dari sekedar
pasar yang menawarkan buruh. Sebagai penyuplai tenaga kerja, sekolah
secara halus membekali siswanya dengan pengetahuan dan keterampilan
dan sekolah secara sosial berfungsi sebagai pendukung sistem ekonomi
kapitalisdan dominasi tertetu. Sekolah-sekolah umum tersebut tidak
menghasilkan pemikiran kritis dan tindakan transformatif. Seperti
halnya tempat kerja dan 'pabrik' budaya massa, sekolah telah menjadi
alat reproduksi ekonomi dan budaya.

Merefleksi pendidikan di Indonesia, hal yang serupa juga berlangsung
dengan mulusnya tanpa diusik. Pendidikan formal kita mencetak generasi
yang menyesuaikan kebutuhan pasar, bagaimana mempersiapkan manusia
yang menjadi mesin untuk menggerakkan sistem kapitalisme yang
berjalan. Secara tidak sadar sekolah dasar, menengah pertama,
menengah atas, menengah kejuruan menciptakan sistem yang demikian.
Masyarakat dibuat percaya bahwa pendidikan macam inilah yang akan
membawa peradaban yang lebih sejahtera dan maju.

Hal-hal yang kita pelajari di sekolah adalah realisasi dari
pembentukan dogma yang dirasa perlu ditanamkan kepada 'penerus' sistem
yang telah ada tanpa dirangsang untuk menciptakan suatu kebaharuan
yang otentik. Semua murid hampir dinilai secara sama dan merata tanpa
dibongkar lebih jauh potensi masing-masing. Tanpa disadari,
produk-produk pendidikan ini tidak berbeda dengan robot yang diatur
sedemikian hingga agar patuh pada sistem.

Dengan sistem yang ada, adalah hal lumrah jika banyak terjadi
kecurangan yang dilakukan demi naiknya nilai jual seseorang. Bocornya
soal ujian nasional, maraknya ijazah palsu merupakan dua contoh yang
tidak lagi mengacau nurani masyarakat. Ini dapat menandakan bahwa
dalam benak masyarakat pendidikan adalah alat untuk meningkatkan daya
jual seseorang, sehingga dalam sistem yang terlanjur kapitalis ini
sah-sah saja menggunakan jalan pintas untuk mengangkat diri seseorang.
Sebagai sebuah dasar untuk melakukan perubahan, pedidikan seharusnya
menjadi ruang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik
guna menciptakan sistem politik yang lebih emansipatif, bukan sekedar
memenuhi tuntutan pedagogis semata.

Para pendidik melakukannya dengan cara membuat refleksi dan bersikap kritis.
Tidak jarang kita mendengar kabar mengenai para pendidik yang
mendedikasikan dirinya untuk kemajuan pendidikan dan muridnya.
Kisah-kisah heroik yang didengungkan membuat kita kadang lupa bertanya
apa yang telah dibentuk oleh para pendidik tersebut. Bukan bermaksud
untuk menilai baik buruknya apa yang ditanam, tapi hal ini seharusnya
masih bisa dikritisi mengenai apa yang ditanam oleh para pendidik
tersebut kepada muridnya, mengenai kemenjadian murid-murid yang ada di
sekolah tersebut.

Kesadaran para pengajar mengenai subjek –objek dalam pendidikan akan
sangat memengaruhi proses perealisasian diri anak didik yang
sesungguhnya, yang dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak
saling bertentangan bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis.
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi
dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam hubungannya dengan
kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang
kedua fungsi ini dalam dialektika macam itu bisa menjebak kita dalam
kerancuan berpikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa
berarti subyektivitas dalam pengertian si tertindas. Oleh karena itu,
pendidikan harus melibatkan pengajar, pelajar atau anak didik, dan
realitas dunia.

Obyektivitas dan subyektivitas
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara
yang ketiga adalah obyek tersadar atau disadari (cognizeable).
Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem
pendidikan mapan selama ini.

Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat
diandaikan sebagai sebuah bank di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan
agar kelak ia dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak
didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka
tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikeal.
Depositor atau investorya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga
kemasyarakatan mapan yang berkuasa, sementara depositonya adalah
berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik.

Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai "gelas kosong" yang akan
disi sebagai sarana tabungan atau penanaman "modal ilmu pengetahuan"
yang akan dipetik hasilnya kelak, dengan guru menjadi subyek aktif,
sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan
tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan
kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoretis yang tidak
berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru
memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, tanpa dikritisi, yang
wajib diingat dan dihapalkan.

Dengan sistem yang begini dipertahankan yang bahkan tidak disadari
oleh pendidik maupun muridnya, dari tingkat sekolah dasar bahkan
perguruan tinggi, akan sangsi ketika menyebutkan bahwa keduanya
merupakan manusia bebas yang sadar mengenai keadaan dan dirinya.
Karena bagaimanapun juga mereka tidak sadar kalau berada dalam sistem
yang sudah mengakar dalam masyarakat.

Membuat seseorang sadar mendapati dirinya terlanjur dalam sistem
merupakan tantangan yang harus lebih dulu disadari, paling tidak oleh
para pengajar. Motivasi para pengajar harus dilandasi oleh
semangat-semangat yang memicu perubahan, ide baru, dan keaslian diri
peserta didik, di mana para pengajar bukan bertugas mentransfer ilmu
tapi bagaimana menjadikan interaksi proses belajar merupakan proses
dua arah, dialektik. Hal ini menuntut pentingnya pemahaman yang lebih
dari para calon pengajar, baik dari sekolah pendidikan guru atau
dengan latar belakang apapun, mengenai realitas diri sebagai manusia
lebih dari apapun. Sebagai fasilitator, seorang guru harus memiliki
wawasan dan kesadaran yang nantinya dapat membawa peserta didiknya
mendapati kebebasan sebagai manusia yang bukan lagi didikte melainkan
pengembangan dari apa yang didapatnya dalam penemuan diri mereka
masing-masing.

*)Tulisan ini banyak dipengaruhi oleh buku Paulo Freire,
"Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan"

20062015

No comments:

Post a Comment