16.7.18

Kasih dan Damai milik Lumoli

Ini dua tahun yang lalu, tapi aku masih ingat betul pertama kali melihat papan selamat datang itu. Bus 3/4 kami tidak bisa lewat. Selain barang yang terdapat pada mobil losbak yang mampu menyebrang sungai, kami harus melanjutkan perjalanan ke desa dengan berjalan kaki.


Selain wangi cengkeh setengah kering disebar di jalan utama tiap rumah, kami selalu kebanjiran sapa tiap melewati rumah-rumah di Desa Lumoli.


Butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan dari Kota Ambon melalui jalur darat dan laut menggunakan kapal feri untuk ke Lumoli, terletak di kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat. Desa ini tidak bisa dibilang sulit dijangkau, karena begini memang keadaan hampir semua desa di Seram, naik-turun bukit meski dekat dengan laut, lewati padang rumput, hutan yang homogen, juga sungai payau. Desa ini begitu ramah, kami disapa oleh sapi (banteng!) ternak yang dilepas di padang antar tegakan saat masuki desa.

Bapak Pejabat (sebutan Kades) membagi kami untuk masing dirumahkan dengan penduduk setempat. Takdir mempertemukanku (awyea~) dengan Mama Loupatty, janda pendeta di Lumoli, Bapa Loupatty, di rumahnya yang sederhana dan begitu bersih: Begitu bersihnya sampai tidak ada debu yang menempel di telapak kaki bahkan saat ke dapur mereka yang masih tanah debu beralas semen, atap seng dan tembok kayu. Mama Lou tinggal bersama anak-anaknya: Kaka Nyong yang seorang perawat, Kaka Nita calon suster yang sudah vikaris dan menunggu keputusan sinode untuk ditempatkan, dan Vito anak Bapak Pejabat yang diasuh Mama.

Tiap pagi dari Rumah Mama ke balai desa yang berjarak 700 meter, banyak yang berdagang roti untuk sarapan, salah satunya Kakak Nyong. Dia menjual roti buatan Mama yang ditempatkan pada toples kripik ukuran 10 liter. Roti Kakak Nyong memang tidak selalu habis, tapi di rumah tidak pernah terbuang. Kadang untuk di makan lagi sorenya untuk cemilan Vito atau esok pagi sambil minum teh kemanisan yang hangat.

Tidak pernah satu kalipun aku mendapat tatapan sinis selama 6 hari di sana. Kebiasaan menitipkan anak pada janda yang kesepian yang dilakukan Bapak Pejabat adalah salah satu bukti betapa mereka saling mengasihi satu sama lain: sebisa mungkin tidak ada orang yang merasa sedih atau kesepian di desa. Dampaknya tentu saja bukan hanya untuk saat si anak dititipkan, untuk kedepannya, dia diharapkan untuk bisa selalu mengunjungi mama asuhnya saat anak-anaknya yang lain sedang merantau.
Mama Lou mengantar Vitto ke sekolah

Selain perlakuan pada orang hidup, pada orang mati pun mereka punya cara tersendiri untuk mengasihi. Tidak seperti di jawa, komplek pekuburan di desa jauh dari kesan angker, beberapa bahkan mengubur kerabatnya di depan rumah. Hal ini bisa jadi karena faktor lahan yang masih luas. tapi toh, mereka seperti biasa saja jika ada anak-anak yang bermain di pekuburan, pun anak-anak seperti tidak merasa takut jika berada di dekat pemakaman. Kalau tidak dikubur di pekarangan rumah, komplek pekuburan terletak di gerbang masuk desa, bukan di sekitar gereja. Kata mereka, beginilah cara para leluhur yang terdahulu menjaga desa.

___

Salah satu yang memenuhi kepalaku saat itu adalah: bagaimana mungkin kekerasan lahir dari manusia yang damai begini? Sepuluh tahun silam Ambon sempat rusuh dan memanas karena, katanya masalah agama. Sampai akhirnya kemudian dibuatlah Gong Perdamaian yang terdapat di alun-alunnya sebagai monumen peringatan (hingga sekarang pun Kota Ambon terbagi dua zona: Muslim dan Nasrani). Aku sih, tidak habis pikir kenapa dan bagaimana provokator bisa-bisanya memancing kedua pihak untuk saling perang satu sama lain. Aku bilang provokator, karena hampir yakin kalau bibit kebencian itu memang disusupi dari Luar. Entah pihak mana yang mau mengambil keuntungan dari kerusuhan, tapi rasanya dia tidak lahir begitu saja. Dia didatangkan dan diamini.
 __

Lumoli adalah tempat aku terpancing untuk memahami manusia lagi. Tempat yang membuat aku merenung banyak tentang manusia dan hasratnya dalam berkuasa, tentang Negara yang katanya harga mati (dari Lumoli, aku kemudian dekat dengan salah seorang teman yang berasal dari Manokwari. Darinya, aku mendapatkan kisah dari sisi lain tentang Papua-nya.). Aku seperti diperlihatkan, bukan Negara lah yang harga mati melainkan kemanusiaan*)

Sekembalinya dari Lumoli, aku minta diajak untuk ikut Misa Minggu ke Om Yuli saat di Ambon. Akhirnya kami pergi ke katedral terbesar di Maluku, dekat dengan hotel kami, St. Fransiskus Xaverius. Di situ aku kemudian banyak diskusi tentang tahapan peribadatan, anggota-anggota yang menjalankan ibadah, hingga bagaimana mereka bisa menepati posisi tersebut. Tidak perlu dipungkiri, ada kekhidmatan tersendiri dalam mengikuti ibadah. Alunan lagu-pujian yang liriknya dipajang pada layar LCD memudahkanku ikut juga bernyanyi. Satu yang aku tidak ikut lakukan: pemberkatan. Aku sudah ikut mengantri, tapi Om Yuli menyuruhku duduk kembali, karena aku belum dibaptis~

Katedral St. Fransiskus Xaverius, Ambon. 2016.

*) Seperti yang pernah dikutip Dandy Laksono

AMK-BOO, 2016-2018




No comments:

Post a Comment