6.8.14

hak hak hak!!


Okelah daripada semua terbuang sia-sia , baiknya turuti dulu apa maunya si otak untuk menulis.
Sekarang sedang rempong menulis laporan PL, dan tentu saja yang selalu terbesit dan berulang kali teringat adalah apa yang menjadi perhatian terbesar ku dalam Praktik Lapang sejak awal. Aku baru ingat lagi tadi, apa yang aku mau dari PL, ilmu baru itu jelas. Aku membayangkan dan bertekad kalau aku harus mengerti sesuatu dari lekuk teka-teki hidup. Oke lebay. Tapi ya begitu.
Saat pertama berkunjung ke kebun dan menemui Kepala kebun dan istrinya, aku cukup tenang, paling tidak, barangkali aku akan menemukan pencerahan (rohani), melihat mereka cukup religius. Seiring PL berjalan, dalam hal religi, rasanya aku malah melakukan banyak pembenaran dalam banyak hal dan dalih yang boleh dikatakan malah melemahkan agama itu sendiri. Selama di sini aku cenderung belajar untuk menjadi manusia yang hidup, lalu ngeh bagaimana aku sangat jauh dari manusia, makhluk sosial, yang baik.
Dibandingkan dengan sejawatku yang PL di tempat sama, aku jauh dari kata baik. Dia anak rajin, rapi, apik, teratur, disiplin, jauh dari membelot atau berontak. Anak baik. Tentu saja bila disandingkan dengan ku ya timpang sekali. Aku ini kan pemalas sejak awal, di rumah tidak biasa bantu ini-itu. Tapi di situlah aku jadi belajar juga bagaimana menempatkan diri meski terbata-bata.
Sebagai makhluk sosial itu pula, aku jadi mendengar banyak hal tentang manusia. Tentang mereka menuntut hak. Hampir tiap kali bercerita, para pekerja di kebun mengeluhkan rendahnya upah dari perusahaan. Mereka membandingkan upah mereka dengan pekerja di kebun sebelah, kebun stroberi milik belanda.
Per harinya, upah di kebun bunga ini berkisar antara 19.000-21.000. ada pula yang digaji perbulan, di mana gaji tidak dihitung perhari, dapat jatah cuti 12 hari dalam setahun, pun jamsostek. Syarat digaji perbulan bekerja minimal 5 tahun, dan dalam usia produktif, ini berarti yang memang kepalang tua sudah tidak mungkin lagi berupah bulanan. Berkali-kali, banyak dari mereka meminta dinaikkan upah, tapi belum ada surat putusan dari kantor pusat mengenai itu. Upah yang dirasa kecil inilah yang membikin sedikitnya pekerja yang masih muda di kebun.
Kalau dipikir, pekerjaan di kebun tidak terlalu sulit. Semua sudah ada divisinya, tugasnya, tidak terlalu berat tapi jadi banyak karena sedikitnya tenaga kerja. Pun salah satu alasan kepala kebun membenarkan upah kecil adalah "..semisal upah besar pun, paling hanya untuk gaya-gayaan saja uangnya, macam karyawan di kebun stroberi. Kerja pake headset, baju lebih oke." Memang, di kebun stroberi pekerjanya terlihat lebih necis, pakai jeans, kadang ber-makeup, rapi, terlihat lebih mentereng. Tidak ada jaminan kalo upah pekerja kebun stroberi itu dihabiskan untuk biaya makan anaknya, toh rasanya tidak terlalu berbeda ukuran tubuh anak pekerja kebun bunga pun stroberi.
Barangkali, kalau memang mau tepat sasaran, baiknya bukan upah yang dinaikkan tapi pembiayaan yang lain, misal, beasiswa untuk anak pekerja yang berprestasi atau biaya kesehatan untuk pekerja dan keluarganya. Sekarang pun sedang dirintis, nampaknya. Karena biaya berobat untuk pekerja yang sakit akan ditangguhkan separuhnya. Paling tidak, pekerja tidak segan untuk berobat meski nanti sisanya dipotong dari gaji.
Percakapan di kebun tidak jauh dari upah, kerabat, urusan dapur pun ranjang. Mungkin memang itu kehidupan normal di sini. Dilahirkan, tumbuh dengan nutrisi seadanya, dewasa, sudah bisa berpenghasilan, kawin, punya anak dan hidup berkeluarga. Urusan hidup layak atau tidak : "Rejeki udah ada yang atur". Jarang dari mereka yang jauh-jauh merantau. Yang disebut "bukan orang sini" adalah orang kampung sebelah.
Ya sebatas itu, manusia sebagai makhluk sosial, subjek untuk segala hal. Semua dilihat dari untung-rugi manusia. Menggugat hak, upah kecil dan sebagainya. Dan kadang aku jadi berpikir siapa atu apa yang seharusnya kita bela, manusia-manusia ini dan hak-haknya atau jauh beyond all this?
Selama ini aku berusaha paham bagaimana konsep ekonsentris dan mengapa bisa muncul ide itu, tentang memandang manusia adalah bagian dari alam, dan bukan pusatnya. Dan merefleksi dari kebun ini, rasanya jauh sekali ide itu memungkinkan untuk dipahami apalagi diterapkan.
Antroposentris? Tak perlu ditanya. Barangkali hal-hal macam di kebun inilah yang membuat aktivis HAM bergerak, atau membentuknya serikat buruh. Tentang kesejahteraan manusia, tentang meningkatkan taraf hidup manusia, membuat segalanya sesuai untuk kehidupan manusia. Manusia-sentris, antroposentris.
Untuk orang-orang di sini selesai sudah, hidup sebatas itu. Kerja untuk hidup, supaya bisa makan, supaya anak bisa sekolah. Anak sekolah supaya nanti bisa jadi lebih pintar dari orangtuanya, supaya bekerja lebih mapan dari orangtuanya, supaya uangnya lebih banyak dari orangtuanya. Dan begitu seterusnya.
Lalu apa inti semua ini? Apa kita hidup dengan tujuan seperti itu?
Akhir-akhir ini juga aku sering berpikir, tentang hak manusia. Hak asasi, yang katanya sudah melekat dalam diri manusia sejak lahir. Hak untuk menentukan pilihan hidup, hak untuk menuntut kelayakan. Apa benar begitu? Jika memang ada hak hidup, adakah dari kita berpikir tentang kewajiban hidup? Bukannya hak dan kewajiban macam dua sisi koin yang tidak terpisah?
Menurut Pak Supari, pendiri PT Kebun Ciputri, berbisnis adalah salah satu cara untuk mengisi tantangan hidup. Dengan tantangan tersebut, dia merasa ada yang harus diatur, diperankan, diselesaikan. Secara tidak langsung itu menjadi kewajiban dia sebagai seorang wirausahawan. Kewajiban yang dibuatnya sendiri berdasarkan peran yang dia ambil. Tapi adakah kewajiban asasi manusia, yang sejak lahir sudah melekat dalam hidup manusia, sehingga manusia tahu benar harus ke mana mengarahkan hidupnya?
Ini yang aku tanyakan belakangan, hak dan kewajiban. Sadar atau tidak kita selalu menyebut hak sebelum kewajiban. Di mana hak datang lebih dulu ketimbang kewajiban. Human Rights adalah frasa yang sangat biasa didengungkan pun diperjuangkan, sedang Human Responsibility? Atau mungkin Humanity?
Barangkali kebebasan akan terasa semu jika memang manusia terlahir dengan kewajiban hidup. Semua akan terlihat militan  dan terkesan dipaksa, tanpa opsi karena begitulah kewajiban seseorang disebab sudah terlahir. Tapi toh kebebasan itu sendiri adalah tafsiran dari manusia mengenai hak..
--
CPNS 050814,
K~

No comments:

Post a Comment