26.3.15

Para Bunga

mengingat-ingat hal yang tidak sepenuhnya terbuang.
Untuk S...

Bawa.

Kita pernah mendengar tetang krisan yang beruntung. Krisan yang dibawa petani untuk diberikan pada gadis kecilnya.

Hampir tiap sore di kebun, aku menyempatkan diri untuk ke rumah krisan di blok atas, barangkali ada krisan merah lain yang terjerembab di tanah. Hampir tiap kali pula aku benar, banyak yang ditinggal, kena pasir, sudah patah, kepalang tua, mereka yang terlanjur ditinggal.

Setelah mendengar cerita Si Krisan Merah, aku ingin melakukan hal yang sama dengan petani cekatan itu, memungut mereka satu-satu, dirangkai dulu sembarangan untuk nanti dibawa pulang. Begitu tiap pulang dari kebun. Tidak Cuma krisan, Celosia, Gerbera, Snap, tapi tidak hydrangea yang gagah (yang bahkan belum sempat aku ceritakan buatmu) yang kami bahkan tidak mampu membuatnya luluh, meski sudah berkarat di pohon, tanpa arit, mereka tetap bersikukuh untuk tinggal.

Tiap sore aku bawa para bunga. Aku dekap macam bayiku yang kubawa. Tiap sore, bunga-bunga yang tertinggal itu aku gendong jauh, jauh dari tempat mereka tumbuh. Turun dari bukit milik mereka. Melewati jalan yang rusak, diterpa angin, bahkan dirubung asap hitam dari truk sayur.

Di perjalanan, aku melihat. Aku melihat kelopak-kelopak itu menari dengan angin. Aku melihat ada girang di antara merah-kuning-ungu krisan, oranye-pink-putih snap, dan gerbera-gerbera yang seperti menatap dengan mata satunya. Aku teringat si Krisan Merah yang bertanya-tanya akan dibawa kemana, dengan hati girang, pada akhirnya dia dibawa jauh dari tempat tumbuhnya. Mungkin, mungkin itu yang terlihat oleh para bunga yang kubawa.

Hampir sampai.

Sebelum sampai tempat singgahku, biasanya banyak bocah bermain di depan gang, berkumpul sambil seskali tertawa renyah bersama kawan-kawannya. Di situ, aku selalu menawarkan bunga. Awalnya mereka enggan, tapi kubilang ini hadiah dan mereka boleh memilih. Mereka memilih dan dengan girang mengajak kawan-kawan yang lain untuk juga memilih. Bunga-bunga itu dipilih, dimiliki pada akhirnya. Di situ aku teringat lagi pada Si Krisan merah dan kawannya yang dibawa oleh petani cekatan dan dibagikan pada orang-orang yang ditemuinya.

Saat itu, para bunga melambai, mengucap selamat tinggal padaku. Entah bagaimana kami saling tahu kalau kami sama-sama lega.

Sampai di tempatku singgah, bunga-bunga itu masih sisa. Mereka menjadi penghibur bagi tetangga kamarku. Dengan girang para ibu ini memilah-milih akan seperti apa bunga ini disusun.

Untuk menghibur suaminya, kata salah satu ibu. Untuk meghias kamar gadisnya, kata yang lain.

Mereka girang, merapikan, menggunting batang dan repot-repot mencari botol dan diisi air. Kali ini, kurasa para bunga bertahan sampai seminggu lagi, lebih tua dari Si Krisan Merah. Mereka hidup diantara riang istri yang membuat hadiah untuk suaminya atau jadi saksi di kamar gadis yang sedang jatuh cinta.

Ah, kalau memang harapan itu ada, aku berharap, kalau memang aku adalah mereka yang tertinggal, aku diperlakukan macam aku memerlakukan mereka. Barangakali, kalau boleh berharap, nanti ada yang memungutku untuk dijadikan hadiah yang tak terduga bagi sekumpulan bocah yang bermain. Paling tidak, agar aku tidak mati di tanah tempatku tumbuh. Tidak sebelum melihat jalan yang rusak, atau sejuknya angin dalam perjalanan.

 Aku jadi berharap, jikapun aku adalah bunga sisa, aku dijadikan hadiah tulus yang sengaja diberikan untuk menemani gelak riang bocah di gang, atau para ibu . Meski nantinya dibuang.

Tapi aku sangsi, jangan-jangan aku ini hydrangea?

**

Kisah tentang bunga adalah kisah yang sedih. Tapi kita harus terima karena kita ini makhluk tanah, bukan langit yang kisah-kisahnya tidak menggambarkan selingan duka, gelisah, dan keraguan sedikitpun.


040714


....dan A


Yours truly,
K~

No comments:

Post a Comment